CURHAT : KISAH PENDAKIAN PERTAMAKU (MERBABU) 14-16 April 2019
Waktu itu hujan turun, aku terdiam menikmatinya,
namun aku tak bisa merasakannya karena saat itu hari sudah tak berhias langit
biru melainkan langit hitam. Ayahku tak mungkin mengizikanku bermain hujan,
sesuka apapun aku dengan hujan namun ketika hujan turun diwaktu malam aku tidak
akan diizikan merasakannya. Tiba-tiba telepon
berbunyi, telpon whatsapp dari salah satu teman rumahku yang sudah aku anggap
seperti kakakku sendiri, abang Faiz.
“assalamualaikum
ukhti” kata pertama yang dia ucapkan ketika telpon whatsapp aku angkat.
“waalikumsalam akhi,
hai tumben bang nelpon?”
“Temenku ada yang mau
naik gunung nih, Merbabu, mau ikut gak?”
Tanpa basa basi
langsung ke tujuan dia menelpon.
“mau bang, kapan tuh?
Siapa aja?”
“nanti aku kasih
kontak dia, kamu coba hubungi dia sendiri ya, aku gak bisa ikut, cutiku gak acc
”
“okeh bang, mana
kontaknya”
“0896 ---- 89—“
“thanks bang, aku
chat dia ini, kamu bilang ya aku mau ikut”
“siap 86”
Bang Faiz adalah orang yang pertamakali
mengenalkanku pada dunia pendakian, walaupun sebelumnya aku gak pernah naik
gunung namun ketika melihat story whatsapp dan instagramnya sudah cukup
membuatku penasaran bagaimana berada diatas awan. Pernah suatu ketika saat dia
akan melakukan pendakian yang ke dua kalinya, mendaki gunung Prau, dia
mengajakku. Semuanya sudah deal, dari waktu dan siapa saja yang ikut sudah
dipersiapkan, sekitar delapan orang sudah termasuk aku dan bang Faiz, dua
minggu sebelum pendakian kita semua berkumpul dirumahnya membahas alat, bahan
dan apapun yang harus dipersiapkan saat mendaki, bahkan mental fisikpun kita
bahas, untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan ketika mendaki.
Sayangnya tiga hari sebelum keberangkatan aku mengalami kecelakaan yang
menyebabkan kakiku tidak bisa digunakan untuk melangkah, dengan berat hati aku
membatalkan pendakian yang awalnya akan menjadi pendakian pertamaku. Musibah tidak ada yang tau, semua yang
direncakan manusia belum tentu Allah ridoi, itu sebuah kata penyemangat untuk
diri sendiri agar bisa mengikhlaskan yang lain tetap pergi.
Enam bulan kemudian, ketika kaki
sudah sanggup digunakan untuk melakukan segala aktivitas seperti sedia kala.
Bang Faiz yang baik hati menghubungiku lagi dan mengajakku melakukan pendakian
lagi. Tapi dia tidak ikut, karena cutinya tidak mendapatkan acc dari pimpinan
tempatnya bekerja. Akhirnya dia memberikan nomer telpon temannya yang akan
melakukan pendakian ke gunung Merbabu.
“assalamualaikum
Bang, maaf ini nomer temennya bang Faiz yang mau mendaki merbabu bukan ya?”
“iya bener, ini Lela
Tetangganya Faiz yang katanya mau ikut aku mendaki ke Merbabu ya?”
“bener sekali, oh ya
bang kalo boleh tau ada berapa orang yang bakal mendaki Merbabu?”
“Kalo kamu ikut jadi
enam anak, tiga cewe dan tiga cowo, gimana?”
Awalnya aku ragu, karena
aku sendiri belum kenal sama semuanya, bahkan temen bang Faiz yang akan aku
ikuti mendaki pun aku gak kenal siapa dia, ketemu juga gak pernah, sumpah
disini aku nekat, Cuma aku percaya, bang Faiz gak mungkin jahat dengan
mengenalkanku dengan orang yang salah.
“oke bang saya ikut,
nanti prosedurnya gimana ya?”
Bang Anto teman dari bang Faiz menjelaskan semua
persiapan yang harus disiapkan, sama seperti saat bang Faiz menjelaskan dulu
saat pendakian gunung Prau. Oke ketika semuanya sudah deal, seperti biasa
tiba-tiba bang Anto menghubungiku, memberitahukan bahwa teman-temannya yang
lain mendadak membatalkan pendakian gunung merbabu dengan alasan cuti yang
tidak di acc, awalnya sudah pasrah, yakin aja bakal gagal lagi buat mendaki
tapi tiba tiba bang Anto memberikan sebuah harapan melalui pesan whatsapp.
“kalo kamu punya teman satu aja buat diajakin muncak, kita bakal tetep
muncak ditanggal 14-16 April 2017, tapi kalo misal gak ada terpaksa kita
mundurin jadwal jadi 26-28 April 2017, gimana?”
Sejenak berfikir setelah membaca pesan whatsapp dari
Bang Anto, karena kalo misal mundur sudah pasti akan batal, tapi siapa yah yang
bakal mau diajak muncak, beberapa saat kemudian, munculah sebuah nama, Ike. Ya Ike
baru-baru kemarin upload foto diatas gunung, perlu aku coba buat ngajak dia
mendaki lagi.
Tak lama berbincang-bincang dengan Ike
sampai akhirnya dia mau, betapa senang hati ini, yey akhirnya jadi juga buat
mendaki.
Satu hari sebelum keberangkatan, karna
baru pertama kali jadi sedikit bingung juga dengan apa yang akan dibawa saat
mendaki, nanya ketemen kuliah, semuanya cuek, seolah-olah mengabaikanku, ya
maklum aja, temen satu kelas bukan anak yang suka naik gunung semua. Okelah
modal cari internet, minjem jas hujan kesana kemari karna saking cintanya sama
hujan sampe gak tega buat beli jas hujan, hahaha. Sampai akhirnya dapet juga
pinjaman jas hujan di kaka Tia (Temen satu kampus), cek obat oke, baju oke,
yesss semua kelar, kecuali keril, matras dan perlengkapan mendaki utama lainnya,
karna gak punya juga jadi yang bawa semua bang Anto dong.
Tibalah dihari keberangkatan,
tanggal 14 April 2017 jam 5.a.m, hari dimana pertama kalinya juga bertemu
dengan Bang Anto, kita janjian di stasiun Tegal dengan tiket keretaku yang
sudah dicetak sebelumnya sama bang Anto, baik kan dia. Sesampainya di Stasiun,
karna gak tau muka bang Anto bentuk rupanya kaya apa jadi solusi tercepat
mengenali dia adalah dengan cara melihat barang bawaannya. Dan benar saja,
tanpa lama aku langsung mengenali wajah bang Anto, dia yang duduk sendiri
diruang tunggu dengan handseet menempel dikedua telingganya dan mulut yang
komat kamit, kayanya sih dia ngikutin lagu yang lagi dia putar di hape.
“permisi,... dengan
bang Anto ini?”
“oh iya maaf (sambil
melepas satu handseet ditelingga sebelah kanan), kamu Lela?”
“betul sekali”
“ini keril kamu, semua
perlengkapan sudah ada didalamnya nanti barang barang kamu masukin aja ke keril
ini, biar tasnya gak perlu double-double”
“oke bang, sebelumnya
terimakasih, maaf kalo merepotkan”
Sambil berjalan menaiki kereta tujuan stasiun poncol
dan dilanjut menikmati perjalanan karna itu juga termasuk pertama kalinya juga
aku menaiki kereta, makanya aga bingung juga waktu disuruh bang Anto mencari
tempat duduk. Saat diperjalanan aku menelfon temanku Ike sebelumnya kita sudah
berjanji akan bertemu di Terminal nanti, rencana awal setelah sampai di stasiun
poncol aku dan Bang Anto melanjutkan perjalanan ke Terminal Semarang dan
nantinya bersama-sama (aku, Ike dan Bang Anto) melanjutkan perjalanan ke
Basecamp Merbabu. Tapi kenyataannya setalah sampai di Stasiun Poncol aku dan
Bang Anto bertemu dengan sekumpulan orang yang akan melakukan pendakian juga ke
Gunung merbabu. Salah satu dari mereka menghampiri kita dan mengajak kita untuk
bergabung dengan dia dan teman-temannya yang lain, katanya sih menghemat biaya
trevel yang sudah mereka booking sebelumnya. Karna ada kata-kata menghemat jadi
bang Anto langsung mengiyakan ajakan tersebut, dan aku karna gak bisa melakukan
apapun jadi Cuma nurut dan tentu saja langsung menelpon Ike agar tidak menunggu
kita di Terminal, melainkan langsung bertemu di Basecamp Merbabu.
Sesampainya di Basecamp kita saling
berkenalan, mereka adalah gerombolan pendaki dari Bogor, Tanggerang dan satunya
entah dari mana lupa, hahah. Mereka terdiri dari empat orang yang salah satu
diantaranya adalah wanita, Mpok Reni, Bang Wawan, Bang Oji, dan Bang Anggel.
Sampai lupa nyari Ike, terakhir aku chat whatsapp sama dia sih katanya udah
sampai Basecamp, tapi dimana yaaaa?.
Orang baik mah gak pernah dibikin
susah dong ya, Alhamdulillah ketemu sama Ike, dan karna kebetulan ini hari
jumat jadi pendakian kita jadwalkan setelah para pria selesai sholat jumat. Ada
kejadian konyol dong yang gak terlupakan. Aku sama Mpok Reni mau sholat dhuhur
kan, Ike gak ikut karna waktu itu dia lagi kena PMS, sebelum kita sholat ada
satu orang cowo lagi sholat juga disana, karna kita gak tau kiblat arahnya
kemana, terus juga tadi liat orang sebelumnya jadi dengan santainya kita ikutin
dong orang yang sholat sebelum kita. Setelah selesai sholat ada dua orang cowo
yang kayanya lagi antri juga mau sholat, mungkin karna telat buat sholat jumat
jamaah jadi mereka sholatnya dhuhur, entah aku gak tau itu dibolehkan atau
tidak. Cowo cowo tadi ngeliatin kita itu kaya orang konyol, dan salah satu dari
mereka tiba-tiba ngomong gini,
“kaka tadi sholatnya
menghadap mana? “
“(nunjuk kearah
tembok)” yang tidak lain adalah arah yang tadinya kita yakini kiblat.
“salah ka, kiblatnya
kearah sana (sambil nunjuk sebelah kanan arah sholat kita tadi)”
Pasang muka bingung,
malu dan kehabisan kata, itu seperti sebuah kata ejekan yang bener-bener
membuat sakit, seperti dilempar sebuah kertas yang di remas dan sebelumnya
ditulis orang islam masa gak tau kiblat.
mataku melihat mata Mpok Reni dan sebaliknya, sebuah kata lirih keluar dari mulut
mpok Reni kalo “yasudah mau gimana lagi sudah terjadi, kan nyatanya kita sudah
terlanjur sholat”. Itu adalah kesalahan
terbesar saya, jangan ditiru ya teman-teman karna misalkan kita sholat salah
kiblat dan kita mengetahuinya ketika posisi kita masih didalam ruangan sholat
maka kita diwajibkan untuk sholat kembali dengan kiblat yang sudah benar.
Selesai sholat dhuhur
dan anak-anak cowo juga udah pada selesai sholat jumatnya kita pesen makan
dulu, isi perut sebelum berlelah lelah, bingung mau pesen apa jadi disamain
sama yang dipesan sama Ike, nasi goreng yang ternyata hanya sebuah nasi yang digoreng lalu dicampuri
kecap mungkin misalkan ada bumbunya takerannya Cuma seuprit sendok kecil. Hambar
kaya perasaan aku waktu itu, maklum baru putus juga waktu itu. Setelah
berlama-lama dibasecamp tepat pukul setengah dua siang kita memulai perjalanan.
Waktu itu sedikit hujan tapi gak lama sekitar lima menit, jadi kita memutuskan
untuk memakai jas hujan terlebuh dahulu. Karna belum terlalu akrab juga sama
grombolan Mpok Reni jadi sepanjang jalan sebelum sampai di pos pertama kita
seakan akan cuek dan masa bodo, seakan akan kita naik sesuai grombolan.
Kalo misal bisa diitung aku paling banyak minta
break (istirahat), sayangnya karna terlalu sering minta break jadi gak keitung
hahah, setiap setelah break sekitar 3-5
menit aku tuh tipe orang yang langsung jalan cepet, sadar diri setelah berjalan
beberapa langkah liat batu dikit minta break lagi. Tapi tetap aja sepanjang
jalan amat sangat aku nikmati apalagi ini pertama kalinya aku naik gunung
dengan modal nekat tanpa kenal siapapun selain Ike. Belum sampai di pos pertama
kita berhenti di tempat yang datar, istirahat lumayan lama dan disitu awal kita
mulai akrab menurutku sih, disitu awal kita foto bareng sesekali kita sama-sama
mengeluarkan candaan garing kita.
“semangat...
semangat... semanagt.....” ucap Bang Anggel
Ya seolah olah
memberi kita semangat biar kita melanjutkan perjalanan, oke aku peka dong. Akhirnya
kita melanjutkan perjalanan hingga akhirnya kita sampailah di pos pertama kita.
Rasanya lelah, dan jujur sempet punya keinginan turun lagi, baru sebentar aja
udah selelah ini apa lagi kalo sampai puncak. Ada beberapa kejadian yang cukup
membuat aku mengatakan wow dalam hati yaitu kebiasaan saling sapa dengan
pendaki lainnya baik yang sama sama akan naik maupun yang sudah dalam
perjalanan balik basecamp. Kejadian langka yang gak bakal dialami dikota,
jangankan senyum sapa, dilirik aja jangan berharap, begitulah kota.
Lanjut perjalanan ke pos 2, masih
sama seperti perjalanan menuju pos pertama, aku terlalu sering meminta break. Ditengah-tengah
perjalanan sebelum sampai di pos dua kita bertemu dengan seekor monyet yang
kelaparan, si monyet gak ganggu sama sekali, justru kita yang mau ganggu dia,
bang Oji menghampiri si monyet niat hati mau berbuat baik kasih makanan pasta
coklat eh sama si monyet justru ditolak mentah mentah, mungkin niat baik bang
Oji gak ikhlas tapi kejadian itu sedikit membuat suasana yang lelah letih lesu
menjadi suasana yang penuh dengan canda tawa. Setelah akhirnya si monyet mau
menerima makanan dari kita, tanpa pamit langsung pergi, ngilang gitu aja tanpa
mengucapkan terimakasih, sebel gak sih. Mau ngapain lagi, yaudah kita lanjutkan
perjalanan. Masih inget banget waktu sampai di pos dua itu udah jam setangah
6.p.m harusnya langit-langit sudah mulai berwarna hitam namun kenyataannya
langit masih membiru, seakan akan masih sekitar pukul 4.p.m , subhanallah
lagi-lagi aku terpesona dengan keindahan alam ini. Kita memanfaatkat waktu
dengan beristirahat sejenak, makan minum dan sesekali saling mengambil gambar
dengan background bertulis pos 2 Gunung Merbabu jalur pendakian Selo. Hingga
akhirnya langit berwarna hitam, lupa juga waktu itu jam berapa, dari atas
kepala sampai ujung kaki udah mulai merasakan dingin yang gak beraturan, kaki
juga udah mulai bener-bener sulit buat diajak melangkah tapi mau gak mau kita
harus terus lanjut, karna menurut bang Anggel pos dua bukan tempat yang nyaman
untuk mendirikan tenda.
Perjalanan kita gak semulus jalan
tol, saat melanjutkan perjalanan menuju tempat yang menurut bang Anggel cocok
untuk mendirikan tenda, kita mengalami beberapa kejadian, kaki bang Wawan yang
awalnya hanya kram biasa jadi membuat perjalana bang wawan terhenti karena
tergelincir yang menyebabkan kakinya terseleo. Kita berhenti lagi lumayan lama,
mengistirahatkan kaki bang Wawan sambil dioles minyak yang mungkin bisa sedikit
meredakan sakit. Ditempat kita berhenti ada beberapa tenda yang berdiri, namun
lagi lagi bang Anggel tidak menyarankan membangun tenda disana, kita disuruh
naik sedikit lagi yang kenyataannya sampe dua jam lebih. Sebelum sampai di
tujuan pendirian kita bertemu dengan orang orang yang akan naik juga namun
karena tenaga mereka mungkin masih full diselip dong kita. Iseng-iseng nanya.
“sabana satu masih
jauh kaka?” bang Oji
“tinggal lurus aja ko
ka, nanti ada belok kanan sedikit itu tempatnya” kata salah satu grombolan
kelompok lain.
Dengan polosnya kita
percaya, dan Bang Oji orang yang paling percaya dengan kata-kata pendaki lain
tadi, sosoan menawarkan membawa kerilku sampe puncak, dia pikir paling lamanya Cuma
30 menit, kenyataannya sampe dua jam, selama dua jam aku naik tanpa membawa
keril sedikit merasa baban berkurang dan kasian sama bang Oji, dia beneran kuat
atau pura-pura kuat, entahlah. Karena beban dia bukan Cuma membawakan kerilku
namun juga menyangga bang Wawan, karena kakinya belum sembuh total.
Sesekali kita berhenti dan memandang
gunung tetangga alias Merapi, disana kayanya sama sama banyak yang mendaki juga
karena ada beberapa lampu yang berjalan keatas puncak. Surga dunia, walaupun
udara sangat dingin aku benar benar menikmatinya. Bahagia tanpa penyesalan bisa
berada dititik ini dengan mereka orang baik yang baru aku kenal.
“ngeel, kamu sama
bang Anto jalan cepat dulu sampai sabana dong” mpok Reni.
“kenapa emang, kalian
gapapa kita tinggal?” bang Anggel.
“iyah gapapa, kalian
sampai sabana satu dulu aja, biar nanti pas cewe-cewe sampai sana tendanya
sudah berdiri, kasian juga sama wawan biar dia bisa langsung istirahat” mpok
Reni.
“oke deh, kalian
ngikutin jalan ini aja. Ji aku titip mereka sama kamu” bang Anggel.
“iya bang, nitip Lela
sama Ike juga, karena mereka tanggung jawabku” Bang Anto.
“oke, kalian sana
bangun tendanya untuk kita” Bang Oji
“semangat...
semangat... “ Bang Anggel
Sekarang tinggal
berlima, dengan formasi, mpok Reni didepan disusul Ike dan aku dibarisan kedua
dan bang Oji yang menyangga bang Wawan di paling belakang, jarak kita gak
berjauhan kok, sesekali kita tegur semangat, seolah olah memberi tanda kalo
masih sanggup untuk lanjut perjalanan, kalo misal ada yang menjawab dengan nada
lirih itu tandanya dia mulai lelah dan kita harus break.
“Oji masih semangat?”
mpok Reni
“masih Mpokkkkk...”
bang Oji
“wawan?”
“masih Mpok”
“Lela sama Ike?”
“masih Mpok...”
Mpok Reni itu ibarat
ibu dipendakian ini, dia baik, perhatian dan gak neko-neko. Dia juga gak egois
walaupun aku tau dia juga udah pengin banget sampe tenda tapi dia berusaha
mengikuti alur kita-kita yang mulai banyak minta break.
Hingga akhirnya,
ketemu juga sama tenda, tapi ternyata belum selesai dibangun jadi kita sedikit
membantu bang Anto melanjutkan misinya membangun tenda, padahal udah mikir
bakal langsung tidur nyenyak pas liat tenda, sedih aku tuh.
“ini kerilmu” bang Oji
“oke bang
terimakasih, maaf merepotkan”
“gak ko kan aku yang
minta sendiri bawain kerilmu”
“oke bang sekali lagi
terimakasih”
Selesai tenda
dibangun, dipikir gampang langsung tidur disuasana sedingin ini, beneran gak
bisa diungkapin, mulut bener-bener merasa beku banget, menggigil sampe jas
hujan aja tak pake tapi gak ngefek tetep aja dingin. Haus juga jadi sedikit
membuat air panas untuk sedikit menghangatkan badan yang kenyataannya setelah
selesai membuat kopi, teh dan mie instan suasana gak berubah. Kita bangun dua
tenda yang isinya sesuai grombolan awal kita. Waktu menunjukkan pukul 10.p.m , waktunya untuk tidur karena kita masih harus
melanjutkan perjalanan sampai puncak. Sebelum tidur kita membuat kesepakatan
untuk bangun jam 4.a.m tapi kenyataannya jam 6.a.m baru pada bangun. Tapi jujur
Cuma aku yang gak bisa tidur malam itu. Liat Ike sama bang Anto dan ditenda
sebelah udah gak ada suara sama sekali, ya mereka tertidur lelap disuasana
sedingin ini. Heran banget kenapa bisa dan aku gak bisa, jaket udah tak pakai,
slingbag juga udah bahkan jas hujanpun masih tak pakai tapi dinginnya masih
saja menusuk sampe mikir bakal mati disitu.
Pura-pura merem, balik badan kekanan kekiri, mikir hal
hal yang indah masih gak ada pengaruh tetep aja gak bisa tidur sampai salah
satu alarm hp ada yang berbunyi tapi semuanya masih gak ada yang bangun tepat
pukul 4.a.m, ada suara bang Anggel membangunkan teman-temannya tapi semuanya
gak ada yang mau bangun, maklum lah lelah letih lesu. Hingga akhirnya tepat
pukul 6.a.m semua terbangun dengan wajah yang masih sulit diajak buat berlelah-lelah
ria lagi.
Melihat keluar tenda, subhanallah indah, berasa lagi
terbang. Awan awan ada dibawah kita, matahari juga belum sebenuhnya
memperlihatkan eloknya. Gak nyesel, ini pengalaman paling nekat yang tak
terlupakan.
Gunung Merbabu, hai .... kamu adalah kenangan
pertamaku. Kamu banyak mengajariku dan kamu adalah bukti kekuasaan Allah.
Berjalan melanjutkan perjalanan menuju puncak tanpa
membawa keril dan semua yang berat-berat. Cuma bawa satu tas yang isinya
minuman dan makanan. Disitu kita udah mulai pisah-pisah, bang Anggel sama Mpok
Reni lebih dulu melanjutkan perjalanan. Disusul aku, Ike dan Bang Anto. Sisanya
bang Oji dan Bang wawan yang katanya mau nyusul belakangan ternyata tetep gak
berubah dari lokasi terakhir break, mereka hanya membuat kenangan foto di
sabana satu. Dan aku, baru saja sampai sabana dua, yang katanya satu tanjakan
lagi sampe puncak sudah gak kuat buat lanjut, jadi memutuskan untuk turun,
karena bang Anto sama Ike pengin banget sampe puncak jadi aku nyuruh mereka tetep
lanjut dengan meninggalkan aku disabana dua, karena aku berfikir untuk berhenti
dan turun lagi ke sabana satu. Kita sedikit berdebat, Ike sama bang Anto gak
tega ninggalin aku turun sendiri, tapi mereka juga gak mungkin berhenti karena
puncak sudah ada didepan mata.
“ayooo lah laa,
sebentar lagi, kuatin...” Ike
“gapapa ke, kalo
misal kamu sama bang Anto mau lanjut silahkan, aku bisa turun sama orang yang
nantinya bakal turun juga”
“gak gitu la, kan
kita sama sama naik dengan tujuan yang sama, masa baru sampai sini sudah harus
merelakan tujuan kita” Ike
“kita break aja dulu,
nanti kalo udah siap lagii kita lanjut” bang Anto
“jangan bang, kalia
lanjut aja gapapa, lagian naanti dibawahkan ada Bang Oji sama Bang Wawan, aku
gak bakal sendiri disaban satu”
Sedikit lama berdebat
hingga akhirnya mereka melanjutkan perjalanan dan aku yang menunggu grombolan
pendaki turun. Lama gak ada yang mau nurun jadi memutuskan buat turun sendiri,
heran kenapa sepanjang jalan turun itu ko sepi banget, padahal tadi yang naik
ada banyak orang. Ternyata salah jalur turun, untungnya masih selamat hingga akhirnya
sampai tenda dan melanjutkan tidur sembari menunggu yang pada di puncak turun.
“kamu ko turun, yang
lain mana?” Bang Oji
“iyah udah sanggup,
yang lain masih lanjut”
“kamu turun sendiri?”
“iya bang, tadi takut
sih tapi percaya aja bisa”
“yaudah tidur aja
lagi, mereka pasti bakal lama diatas”
Benar saja, mereka baru
sampai tenda ketika waktu menunjukkan pukul 11.p.m, entah apa aja yang
dilakukan mereka disana, oh ya sebelumnya waktu Bang Anto sama Ike
meninggalkanku sendiri, kamera kogan milikku dibawa mereka jadi tanpa mereka
cerita aku sudah tau apa yang mereka lakukan disana.
Mpok Reni mulai menampilkan
kemampuannya memasak, dan aku sedikit belajar memasak darinya. Kita bikin
semacam sayur dan goreng tempe, naget tentu saja dengan nasi yang sudah kita
persiapkan, masak yang paling sulit itu nasi sih, dari takeran air sampe api
yang mobat mabit kena angin menjadi penghalang nasi cepat matang. Tapi dengan
kemampuan ke ibu-ibuan mpok Reni semua berhasil matang tepat waktu dan kita
bisa kenyang sebelum melanjutkan kelelahan kita untuk turun sampe basecamp
lagi. Sebelum turun kita sempetin buat foto full team bertujuh minta tolong
salah satu pendaki lain buat ambil foto kita dengan background gunung Merbabu.
Turun itu gak sesusah naik, itu fakta. Naik perlu
tenaga extra namun turun hanya perlu sedikit tenaga dengan rem yang haus pakem.
Alias lari jangan sampe kebantasan. Pinter-pinter ngatur kecepatan kaki. Kita gak
balapan ko Cuma emang jalanannya aja yang menurun jadi seolah olah kita lagi
lari. Liat jalan turun terheran heran, ternyata separah ini jalan yang dinaiki
semalem, semalem waktu naik sama sekali gak bisa liat jalan kita bahkan sampe
merangkak. Tapi pas liat kenyataan jalan yang dilewati, so kita hebat. Semua pendaki
patut diacungi jempol. Apalagi anak-anak usia dibawah 10tahun, mereka
bener-bener kaya punya tenaga kucing kuat banget, expresi mereka juga tanpa
sedikit keluhan sama sekali. Kita yang sudah dewasa justru terlalu banyak
mengeluh.
Perjalanan turun juga gak kalah istimewanya sama
waktu naik, karena turunnya masih dikeadaan siang jadi semua terlihat sangat
menakjutkan. ada beberapa monyet yang terlihat tapi mereka gak ada yang
mendekat, mungkin mereka tau bekal kita sudah menitis. Kita masih sesekali melakukan
break tapi gak sebanyak waktu naik.
Tepat pukul 6.p.m kita akhirnya sampai basecamp,
karena Ike besoknya harus berangkat kuliah jadi memutuskan untuk pulang lebih
dulu, kebetulan dia ke basecamp naik motor jadi bisa langsung pulang, sedangkan
kita harus menunggu esuk hari untuk menghubungi trevel yang kita naiki waktu
berangkat dari poncol. Kita tinggal berenam, Kita tidur di salah satu basecamp
yang gak begitu ramai, dan bersyukur hari itu bisa tidur walaupun sebentar
karena kebangun dengan suara dengur salah satu dari mereka entah dari siapa
pokoknya yang tidur di sebelah kanan, disitu kalo gak salah ada Bang Anto, Bang
Anggel sama Mpok Reni jadi yang dengur keras banget itu pasti salah satu dari
mereka tapi entah siapa yang jelas masa bodo dan melanjutkan tidur sampai pagi.
Aku bisa tidur bukan karena udara yang gak dingin tapi karena bener-bener cape
banget, semua berasa pengin berhenti namun tidak dengan detak jantung, nanti
aku mati dong. Dibasecamp gak jauh beda sama suasana sabana satu, dingin
banget. Apalagi kalo habis dari kamar mandi, berasa kaya habis keluar dari
kulkas.
Pagi tiba, waktunya pulang tapi trevelnya dihubungi
susah karena sinyal ilang-ilangan kaya cintamu padaku hahah, jadi karena waktu
itu yang ada sinyal tuh hapeku sama hape bang Anggel jadi kita berdua jalan
kebawah Cuma buat nyari sinyal, ada hasil dong akhirnya kita bisa juga
menghubungi driver trevel kita (Bang Budi), sembari menunggu, aku, bang Oji,
Bang Wawan dan Bang Anto jalan keatas lagi Cuma buat foto bareng di bawah
gapura, sampe sekarang foto itu jadi kenangan paling bikin senyum-senyum
sendiri.
Masih gak percaya kalo pendakian pertama amat sangat
lancar, walaupun sempet hujan dan sesekali berfikir negatif tapi semuanya
terbalaskan dengan sebuah pemandangan yang gak bisa terbayar dan pengalaman
yang gak bisa dibeli atau diulang lagi.
Hingga akhirnya kita bertujuh masih saling
berkomunikasi sampai sekarang dan seolah olah sudah kenal lama.
Beberapa pelajar banyak sekali aku ambil dari
pengalaman yang tak terlupakan ini. Intinya percaya kalo orang baik akan
dipertemukan dengan orang yang lebih baik.
Oke sekian dulu kisah merbabunya, jujur ada kisah
lanjutan lagi dari pertemanan kita, nanti bakal saya ceritakan di curhatan saya
yang lainnya. Terimasih buat yang sudah bersedia membaca, nama yang disebut
diatas nama asli karena ini bukan pengalaman yang buruk jadi saya si penulis
dan salah satu orang dari bagian cerita diatas tidak keberatan untuk
menampilkan nama asli kita, barang kali teman-temanku yang ada di cerita diatas
membaca cerita ini mohon maaf apabila ada cerita yang kurang berkenan karena
ini kisahnya versi Lela, siapa tau kalian punya versi masing-masing bisa di
share atau kirim ke email saya laelamaulidah@gmail.com
yang nantinya mungkin akan saya kembangkan lagi menjadi sebuah karya tulis “NOVEL”.
------------------ to be continue --------------
Komentar
Posting Komentar